Blogger Template by Blogcrowds

Oleh : Hj Nidalia Djohansyah Makki

Memasuki masa reses persidangan DPR pertengahan tahun ini, banyak RUU yang menjadi agenda politik ke depan. Salah satu yang menarik dan perlu dikaji, yakni RUU bidang politik. Mengapa? karena materi kajiannya menyangkut perempuan dalam ranah politik. Di sisi lain, perempuan dalam segala aspek kehidupan selalu menarik untuk dibicarakan, termasuk peran yang dijalankannya.

Bukan tanpa sebab jika setiap menjelang Pemilu, partai-partai politik berlomba menarik kantong-kantong suara perempuan, secara statistik faktanya memang lebih dari 50 persen suara pemilih adalah perempuan. Perempuan dan politik memang menjadi wacana yang kembali marak diperbincangkan, bahkan menjadi suatu yang politis untuk diperdebatkan.

Mainstream yang sedang berkembang seiring dengan bergulirnya pembahasan RUU paket politik di lembaga legislatif saat ini adalah berbagai isu tentang perempuan. Porsi terbesar sebagai kontennya, yakni masalah kuota 30 persen. Hingga kini, perkembangan wacana perempuan di ruang politik masih terjebak dalam perdebatan tentang partisipasi dan representasi, yang mengarah pada indikator normatif kuantitatif.

Salah satu indikatornya soal kuota untuk reprensentasi politik perempuan. Sebagai afirmative action, kuota tidak boleh melupakan kualitas dari representasi tersebut.

Dialektika perempuan dan politik mestinya tidak hanya berbasis pada material partisipasi dan representasi, tetapi seluruh aspek, termasuk sejarah patriarkhi yang menjadi dasar ideologi penindasan terhadap perempuan. Maka, indikator kuantitatif (termasuk kouta) menjadi prinsip untuk menegakkan moralitas politik terhadap realitas penindasan dan penyingkiran perempuan yang telah berlangsung sejak dulu.

Dalam perspektif kesetaraan, harus dilihat bagaimana memberi tempat bagi perempuan untuk mengisi peran dan posisi di berbagai aspek kehidupan dengan mendapat hak dan kewajiban yang sama, sedangkan bicara keadilan diarahkan pada terlepasnya kaum perempuan dari diskriminasi, keterbelakangan dan kekerasan.

Adapun terkait minimnya kiprah kaum perempuan di dunia politik, tentu tidak lepas dari problem mendasar kaum perempuan di Indonesia mengenai kapasitas dan kemauan untuk terjun ke dunia politik itu sendiri. Di samping memang lantaran masih terganjal struktur sosial dan budaya yang masih saja dianut masyarakat.

Perempuan di Parlemen

Kalau menyimak representasi perempuan di parlemen bisa dikatakan menyedihkan. Data menunjukkan penurunan representasi perempuan dalam parlemen. Dari 500 anggota, representasi 11,4 persen pada Pemilu 1997 turun menjadi 8,9 persen pada pemilu 1999.

Jumlah ini bahkan lebih kecil di DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota, sedangkan, dari 550 anggota DPR RI periode 2004-2009 perempuan hanya mencapai 12 persen, bahkan di tingkat DPRD hanya mencapai 7–8 persen saja dan yang lebih memprihatinkan lagi ada satu kabupaten yang tidak memiliki perempuan di DPRD.

Ketentuan dalam Pasal 65, UU No 12 tahun 2003 yang mengatur keterwakilan perempuan calon legislatif sekurang-kurangnya 30 persen, ternyata hanya menempatkan perempuan sebagai calon pada nomor urut yang sulit untuk terpilih.

Tindakan ini merupakan bentuk diskriminasi positif yang berdasarkan prinsip-prinsip perlindungan HAM serta dijamin dalam UUD dan UU No. 7 Tahun 1984 yang meratifikasi Convention on The Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW).

Affirmative action dengan adanya kuota bukanlah hal yang baru. Negara lain juga telah menetapkan sejumlah kuota bagi perempuan yang dijamin dalam konstitusinya. Bahkan di negara-negara maju, kuota lebih besar di atas 30 persen. Sebagai contoh di negara-negara Skandinavia, kuota perempuan di Swedia 42 persen, Denmark 38 persen, dan Norwegia 36 persen. Adanya kuota itu merupakan keharusan dan tidak bisa diartikan sebagai bentuk belas kasihan.

Upaya menciptakan produk legislasi yang memperhatikan kepentingan perempuan, keterwakilan perempuan di parlemen serta lingkungan politik yang ramah perempuan, menyisakan begitu banyak pekerjaan rumah.

Akhirnya, peningkatan kapasitas dan kemauan berpolitik setiap perempuan menjadi penting dan menjadi misi untuk membuat perempuan lebih mampu mengisi dan menikmati hasil pembangunan bersama kaum pria. Jika hal tersebut dimiliki kaum perempuan di negeri ini jangankan untuk kuota 30 persen bahkan 50 persen pun tidak akan menjadi persoalan. Wallahu’alam Bishawab.

Penulis adalah Anggota Komisi II DPR-RI dan Wakil Bendahara Fraksi PAN
DPR-RI.

Sumber : Dari Sini

1 comments:

artikel anda :

http://politik.infogue.com/
http://politik.infogue.com/perempuan_dan_politik_kesetaraan

promosikan artikel anda di www.infogue.com dan jadikan artikel anda yang terbaik dan terpopuler menurut pembaca.salam blogger!!!

June 29, 2008 at 8:10 PM  

Older Post Home