Blogger Template by Blogcrowds

Potongan lagu itu dinyanyikan Swarsi sebelum peneliti Bali Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (Jarahnitra) Denpasar ini memulai materinya dalam satu sesi diskusi paralel tentang Pe-rempuan Indonesia dalam Masyarakat Multikultural dalam "Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia Ke-3", di Universitas Udayana (Unud) Denpasar, Kamis (18/7).Mulai dari masalah pendidikan, kesehatan dan reproduksi, kesempatan kerja, sampai politik.

Benang merah dari bahasan tersebut adalah masih adanya persepsi masyarakat tentang dikotomi jender, yaitu pembedaan ruang dan peran antara laki-laki dan perempuan.

Turut berbi-cara dalam diskusi itu antara lain panelis dari Unud Bali, Universitas Kristen Petra Surabaya, Institut Agama Islam Negeri Jakarta, Universitas Nusa Cendana Kupang, dan dari La Trobe University Australia, serta Balai Kajian Jarahnitra Denpasar. DIKOTOMI antara laki-laki dan perempuan tersebut, menurut Eri Seda, mencerminkan pengaruh sistem budaya masyarakat Indonesia yang umumnya patriarkat.

Mengangkat masalah perempuan dan politik, dosen FISIP UI Jakarta ini mengatakan, berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) 1991 terlihat jumlah perempuan di Indonesia mencapai sekitar 51 persen dari jumlah seluruh penduduk Indonesia, namun keterlibatan perempuan di politik formal masih sangat rendah.Dalam makalahnya berjudul Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia, Eri mengutip data Central for Electoral Reform (CETRO) 2002 menunjukkan adanya kecenderungan penurunan dalam representasi perempuan di parlemen Indonesia, dari 12,5 persen di tahun 1992 menjadi 9,0 persen di tahun 1999. Menurut dia, dikotomi wilayah publik dan wilayah domestik adalah salah satu akar masalah dari isu yang diperjuangkan para feminis.

Dikatakan, pembagian kerja berbasis jenis kelamin (gender based division of labor) tersebut melandasi terjadinya stratifikasi jender, di mana perempuan hanya bekerja di wilayah domestik, sementara wilayah publik adalah tempatnya
laki-laki.

"Ini yang harus dibenahi," kata Ida. Menurut dia, upaya perempuan Indonesia untuk dapat memasuki wilayah publik masih terhambat adanya kendala internal dan eksternal.Kebijakan pemerintah yang tidak memberi cukup ruang terhadap perempuan, iklim politik, dan kendala kultural adalah faktor eksternal. Selama ini, kebutuhan dan nasib perempuan masih ditentukan kaum laki-laki," paparnya.

Untuk membenahi pemahaman jender, lanjut Ida, ada beberapa upaya yang dilakukan kelompok feminisme di Indonesia, antara lain melalui diskusi dan transformasi gerakan pemberdayaan perempuan di tingkat akademisi atau lembaga kajian wanita dan penguatan pendidikan jender di tingkat keluarga.

Mengutip hasil penelitiannya tahun 1985, Swarsi mengatakan, dalam hukum Hindu, perempuan telah mendapat kedudukan tinggi dan istimewa secara normatif walaupun secara realitas masih ada ketimpangan terkait dengan sistem sosial masyarakat yang masih menganut sistem patriarkal dan system kekerabatan di dalam masyarakat dan lingkungan.DALAM Kompas (16/7) diberitakan, Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia (KPPI), dalam seminar "Meningkatkan Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia Melalui Revisi 3 Undang-Undang Politik" di Jakarta, menyatakan keinginan mereka untuk terus memperjuangan kuota perempuan-minimal 30 persen-dalam revisi tiga Undang-Undang (UU) Politik, yang meliputi UU tentang Pemilu, UU tentang Partai Politik, dan UU tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.

Jumlah minimal 30 persen tersebut, kata Ida, dinilai mampu mengartikulasikan suara perempuan di dalam penentuan dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan perempuan.

"Selama ini, keterlibatan perempuan di wilayah publik hanya sebatas sebagai pemilih dalam pemilu, sementara haknya untuk dipilih terbatas," ujarnya.

Sumber : Dari Sini

0 comments:

Newer Post Older Post Home